KASUS busung lapar yang menimpa anak balita di sejumlah wilayah tidak hanya menjadi keprihatinan para ahli gizi dan kesehatan, tetapi juga berbagai kalangan lain, termasuk artis, anggota DPR, dan ahli ekonomi pembangunan. Kasus yang menimpa generasi masa depan bangsa itu, di satu sisi, dilihat sebagai cermin kegagalan pemerintah dalam pembangunan kesehatan dan gizi masyarakat. Namun, di sisi lain, orangtua dianggap juga ikut berperan. Berikut komentar mereka. SitiFadilah Supari, Menteri Kesehatan
Kasus busung lapar di Nusa Tenggara Barat (NTB) masuk dalam kategori kejadian luar biasa (KLB). Tim Departemen Kesehatan telah dikirimkan ke provinsi itu untuk mengupayakan peningkatan surveillance atau pengawasan, memberikan makanan tambahan, dan mengobati yang sakit. Walaupun demikian, pemerintah daerahlah yang harus menangani dulu kasus itu. Kalau tidak mampu, baru pusat turun tangan.
Ada tiga penyebab busung lapar. Pertama, karena masalah ekonomi, yakni orangtua benar-benar miskin dan sedang mengalami paceklik sehingga tidak bisa memberikan makanan kepada anaknya. Kedua, orangtuanya bisa memberi makan, tetapi tidak mengerti bagaimana cara memberi makan dengan benar sehingga asupan gizinya kurang. Ketiga, anak ternyata menderita sakit yang tak sembuh-sembuh sehingga susah makan.
Pemerintah menganggarkan dana Rp 150 miliar untuk menanggulangi busung lapar, tak hanya di NTB, tetapi di seluruh Indonesia. Dana itu diberikan untuk memenuhi kebutuhan makanan pendamping air susu ibu bagi anak balita di seluruh Indonesia karena dikhawatirkan kasus seperti di NTB juga terjadi di daerah lain. (Gunawan Sumodiningrat, Ekonom)
Kasus busung lapar di sejumlah wilayah mencerminkan kekurangpahaman kita bahwa kita harus bersyukur atas rahmat Allah. Untuk bisa memenuhi kebutuhan sendiri, orang itu harus bekerja. Dalam kasus kelaparan, jika tak bisa menyelesaikan di dalam rumah tangga sendiri, selesaikan bersama masyarakat atau lingkungan sekitar, RT, RW. Jika tak bisa, dibawa ke desa atau kelurahan. Jika tidak bisa juga, ke kecamatan, ke kabupaten, provinsi, begitu seterusnya secara berjenjang.< p>
Jadi, pertama-tama harus diselesaikan pemerintah daerah karena mereka yang paling tahu kondisi masyarakat di daerahnya. Kan ada yang namanya musyawarah pembangunan desa yang menampung aspirasi masyarakat di daerah atau hubungan masyarakat dan pemda. Itu yang harus digerakkan. Baru kalau pemda tidak bisa menangani, diteruskan ke pemerintah pusat. Dan pemerintah pusat harus mendengarkan.
Dalam pembukaan UUD 1945 diatur peran pemerintah, yakni melindungi
warga negara, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tetapi, pemerintah sendiri tidak akan bisa. Harus bersama-sama dengan masyarakat.
Itu hakikat musyawarah dan mufakat.
Pemerintah juga harus menyadarkan masyarakat, harus ada perubahan moralmental
untuk jangan bergantung pada pemerintah atau orang lain. Masa untuk
makan harus menunggu raskin (beras untuk rakyat miskin) atau mau sekolah
menunggu beasiswa dan mau berobat menunggu kartu sehat. Mereka harus
diberdayakan agar bisa memenuhi kebutuhan sendiri.
Kalau mengikuti mekanisme pasar, kemiskinan itu bukan kesalahan pemerintah,
tetapi kesalahan masyarakat miskin itu sendiri. Seharusnya kalau melahirkan anak,
harus menyiapkan juga lumbung pangan, tabungan, dan jaminan kesehatannya. Jadi
jangan dipaksakan kalau tidak mampu. Sebab, kalau tidak, itu namanya melahirkan
kemiskinan baru.
Di sinilah peran penting BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional). Jika mereka tidak berdaya juga, pemerintah yang harus jeli melihat mana
yang benar-benar tak mampu dan harus ditolong. (Rieke Diah Pitaloka, artis p).
Busung lapar di NTB membuktikan betapa masih banyak orang Indonesia miskin dan
bahkan hidup di bawah garis kemiskinan. Ironi bertambah dalam mengingat NTB
lumbung padi di Kepulauan Sunda Kecil. Demikian pula hasil tambang emas di
Sumbawa dan budidaya mutiara di provinsi tersebut tidak menjamin pemerataan
kemakmuran bagi warga.
Kasus tersebut membuktikan tidak ada korelasi langsung antara kekayaan
alam dan kemakmuran warga. Daya beli masyarakat ternyata tetap rendah di
provinsi kaya sumber daya alam. Kondisi ini adalah gambaran kegagalan pemerintah
mengatasi kemiskinan. Ternyata janji kompensasi kenaikan harga BBM berupa
layanan bagi rakyat miskin tidak terbukti karena malnutrisi terus terjadi di manamana.
Bahkan, lebih memprihatinkan lagi kondisi NTB, di sana 20 persen anak balita
ternyata mengidap malnutrisi. Rakyat miskin dan ketidakpedulian penguasa adalah
momok yang mencekam. Berdasar data Bank Dunia, hampir 200 juta rakyat
Indonesia tergolong miskin dan sangat miskin karena berpendapatan kurang dari 2
dollar AS per hari.
Ini mengacu pendapatan mayoritas rakyat sesuai upah minimum regional
(UMR) yang hanya sekitar Rp 600.000 atau kurang dari 2 dollar AS per hari! Harus
ada perubahan kebijakan yang secara nyata langsung menyentuh penghidupan
rakyat miskin, terutama kesehatan dan pendidikan. Marissa Haque, artis
Dulu pernah ada program PKK (pendidikan kesejahteraan keluarga) yang langsung
menyentuh rakyat, tetapi kini terhambat akibat krisis politik dan ekonomi. Adapun
bantuan lembaga-lembaga dunia kerap kali mengalami birokrasi panjang di
Indonesia karena pelbagai hambatan termasuk dari partai politik.
Bahkan, di tempat tertentu seperti di Lembang, kaum ibu berswadaya
mengumpulkan uang hingga Rp 8 juta untuk menyelenggarakan imunisasi dan
program kesejahteraan. Di saat yang sama ada dana Rp 1,25 miliar dari WHO
(Organisasi Kesehatan Dunia) bagi mereka, tetapi harus melalui jalan berliku di
pemerintah untuk menyalurkannya.
Kasus malnutrisi yang terjadi merupakan paradoks karena 75 persen wilayah
Indonesia adalah laut dengan kekayaan di dalamnya yang seharusnya menjadi
sumber protein rakyat. Banyak bangsa lain memanfaatkan kekayaan laut untuk
mencerdaskan bangsa seperti dilakukan Jepang.
Namun, di Indonesia, laut dan kawasan pesisir justru dirusak. Nelayan tradisional dengan perlengkapan minim harus berlayar semakin jauh ke tengah karena kerusakan kawasan pesisir. Perlengkapan minim untuk mengarungi laut lepas mengakibatkan rendahnya tangkapan dan berujung pada semakin miskinnya mereka.
Padahal, ada potensi pemberdayaan perempuan pesisir seperti dilakukan oleh Grameen Bank di Banglades yang menghimpun perempuan miskin. Usaha mikro kecil-menengah dengan modal Rp 500.000 hingga Rp 1 juta yang mereka kelola bersama berhasil mengentaskan mereka dari jeratan utang dan membantu keluarga di saat para suami kesulitan melaut.
Memberdayakan perempuan marjinal dapat menjadi model solusi. Karena mereka-perempuan-takut dikucilkan oleh komunitas, secara otomatis perempuan lebih bertanggung jawab dalam mengelola keuangan. Sebaliknya kaum lelaki dapat dengan mudah menghamburkan uang yang seharusnya dialokasikan untuk kesejahteraan keluarga mereka.
Pemberdayaan masyarakat miskin ini dapat memberikan solusi simultan, yakni kesejahteraan dan langsung mengeksploitasi sumber protein untuk mencegah malnutrisi dalam hal ini kekayaan laut.
Menanggapi kasus ini, SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Red) harus segera bertindak. Saya sebagai oposisi akan terus mengontrol dan biarlah SBY tetap memimpin hingga lima tahun ke depan sehingga masyarakat bisa menilai serta tercipta budaya check and balance antara eksekutif dan oposisi. Dr dr Triono Soendoro, Pakar Kesehatan.
Pemerintah dari pusat sampai daerah, akademisi, hingga aktivis LSM kebanyakan berada dalam posisi "komunitas pengamat". Masalahnya, seberapa jauh sebenarnya "komunitas pengamat" ini bisa berempati terhadap "komunitas pelaku", yakni masyarakat miskin atau masyarakat yang bermasalah gizi buruk ini.
Kita mempunyai masalah kekurangan dana untuk dialokasikan bagi pelayanan kesehatan. Namun, satu masalah lagi berkaitan dengan anggaran ini sering dilupakan, yakni ketepatan sasaran alokasi dana kesehatan. Sasaran dan bentuk layanan ditentukan oleh komunitas pengamat, bukan oleh pelaku.
Dari sekian besaran anggaran pemerintah untuk kesehatan, siapa sebenarnya penerima dana itu dan dalam bentuk apa? Suatu sistem yang berfungsi sebagai kesatuan selalu memelihara keberadaan melalui interaksi antarbagiannya.
Patut dipertanyakan apakah benar-benar ada interaksi antara pemerintah, komunitas, dan masyarakat yang menjadi sasaran program kesehatan sebagai satu sistem. Jika melihat bagaimana kebutuhan masyarakat diidentifikasi dalam pola penyusunan program saat ini, interaksi itu kerap kali tidak terjadi.
Contoh parah, misalnya, pemerintah di daerah memilih membangun rumah sakit pusat di tingkat kabupaten yang lebih kasatmata dan dianggap lebih bergengsi daripada membiayai operasionalisasi puskesmas di desa-desa.
Masyarakat sering disisihkan dalam proses pengambilan keputusan dan penentuan kebijakan. Padahal, sudah menjadi pengertian dasar dalam teori komunikasi dan interaksi bahwa penerima pesanlah yang menentukan apa arti pesan, receiver determines the meaning. Mudrajad Kuncoro, PeneliTI.
Ditemukannya kasus anak balita yang meninggal akibat busung lapar di Provinsi NTB tidak perlu ditanggapi dengan pernyataan yang reaktif. Itulah cermin potret buram rendahnya kualitas kesehatan dan gizi buruk, yang berakar pada kemiskinan struktural di daerah tersebut.
Menurut Wakil Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB, anak balita yang menderita busung lapar mencapai 10 persen dari total anak balita. Dengan kata lain, sekitar 49.000 anak balita di antaranya menderita gizi buruk atau busung lapar. Secara nasional, persentase busung lapar yang menyerang anak-anak di bawah usia lima tahun di Indonesia diperkirakan delapan persen, atau sekitar 1,67 juta (Kompas, 28/5/2005). Tentu saja, ini merupakan pekerjaan rumah besar bagi menteri terkait dan pemda di daerah yang merupakan kantong-kantong penderita busung lapar.
Cerita sedih tentang fenomena busung lapar di tahun 2005 sebenarnya tidak begitu mengejutkan dan luar biasa apabila kita selalu menyimak perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM, atau Human Development Index (HDI), merupakan indeks komposit yang dihitung berdasarkan rata-rata dari indeks harapan hidup, indeks pendidikan, dan indeks standar hidup layak.
IPM menggabungkan tiga indikator longevity sebagai ukuran harapan hidup, pengetahuan (knowledge) yang diukur dengan kombinasi melek huruf dewasa (berbobot tiga perempat) dan gabungan dari rasio pendidikan tinggi primer, sekunder, tersier bruto (berbobot sepertiga), dan standar hidup layak (decent standard of living) sebagaimana diukur oleh PDB riil per kapita dengan perhitungan paritas daya beli.
Pada tahun 1999 IPM Indonesia hanya 0,681, peringkat ke-105 dari 162 negara. Tahun 2003 malah makin merosot menjadi 112, dengan IPM sebesar 0,682. Peringkat ini di bawah negara-negara ASEAN lainnya.
Secara spasial, IPM antardaerah di Indonesia mempunyai disparitas cukup tinggi. Bahkan berdasarkan klasifikasi nilai indeks pada tingkat kabupaten/kota, sebagian besar daerah di Indonesia menunjukkan kategori "menengah bawah". Yang perlu diwaspadai adalah daerah dengan kategori IPM rendah, yang juga merupakan indikasi daerah yang merupakan "kantong-kantong" busung lapar dan kemiskinan di negeri ini. Daerah tersebut terutama adalah NTB, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Papua, dan Jawa Timur.
Fenomena busung lapar sebagai indikator kekurangan gizi yang berat adalah cermin masih rendahnya kualitas manusia Indonesia di daerah tersebut. Ini jelas bukan penyakit yang datang mendadak, tetapi suatu proses yang sudah lama. Oleh karena itu, solusinya harus terintegrasi dengan program pengentasan rakyat dari kemiskinan, termasuk dana kompensasi BBM, perbaikan gizi, peningkatan kualitas kesehatan, dan peningkatan daya beli kelompok miskin.
Sulit membantah bahwa otonomi daerah telah menunjukkan kegagalan pembangunan kesehatan di negeri ini. Departemen Kesehatan dan pemerintah daerah harus bekerja sama dengan Bappenas dan Departemen Keuangan dalam melancarkan "perang" terhadap busung lapar.
http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0506/04/fokus/1793674.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar